Pesan (baru) dari Sebuah Papan Lama ..
dia membuka halaman-halaman ketikan baru
dan mulai membaca mitologis dunia
: Dunia Sophie, Jostein Gaarder
Sebuah papan tampak kusam terhalang rimbunnya pepohonan yang nampak dominan disebuah halaman disalah satu fakultas di universitas sebelas maret. Papan dengan template yang agak lampau seakan-akan sedang menunjukkan sebuah kondisi yang tak terlalu penting untuk diabaikan ditengah riuh rendahnya semua agenda yang sedang dirilis lewat beragam media. Papan dengan format pesan yang seakan-akan tidak mampu mencuri perhatian kita karena kondisinya yang memang tidak dibuat untuk mampu menarik perhatian. Papan yang secara tidak sengaja terselip diantara semangat, komitmen dan kemauan kita untuk mendedikasikan diri pada rangkaian pengetahuan yang terbalut dalam proses belajar-mengajar di universitas. Papan tersebut menyisakan teks yang mulai kabur karena termakan usia : berupa wawasan almamater. Wawasan almamater adalah konsepsi yang mengandung angapan-anggapan sebagai berikut : [1] Perguruan tinggi harus benar-benar merupakan lembaga ilmiah sedang kampus harus benar-benar merupakan masyarakat ilmiah, [2] Perguruan tinggi sebagai almamater (ibu asuh) merupakan satu kesatuan yang bulat dan mandiri dibawah pimpinan Rektor sebagai pemimpin utama, [3] Keempat unsur sivitas akademika yakni pengajar, karyawan, administrasi, mahasiswa dan alumnus harus manunggal dengan almamater harus berbakti kepadanya dan almamater mengabdi kepada rakyat, bangsa dan negara dengan jalan melaksanakan tri dharma perguruan tinggi, [4] Keemapt unsur civitas akademika dalam upaya menegakkan perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah dan kampus sebagai masayarakat ilmiah melaksanakan tri karya yaitu : institutionalisasi, profesionalisasi dan transpolitisasi, [5] Tatakrama perguruan tinggi didalam lingkungan perguruan tinggi dan kampus didasarkan atas asas kekeluargaan serta menjujung tinggi keselarasan dan kesimbangan sesuai dengan pandangan hidup Pancasila.
Siapapun anda, mungkin telah menjadi rangkaian panjang dari upaya universitas untuk merealisasikan apa-apa yang tertera pada papan nan lapuk tersebut dan saya beserta beberapa yang lain mungkin adalah bagian baru dalam rangkaian : yang akan menegaskan kepada kita tentang keniscayaan sebuah siklus perubahan. Jujur untuk diakui, mendiskusikan pesan pada papan tersebut seperti sedang mengajukan sebuah tuntutan atas masa lalu sekaligus masa depan secara bersamaan sebab rangkaian pesan tersebut adalah sebuah harapan dari masa lalu dan tantangan bagi masa kini untuk juga mewujudkannya, sebuah kondisi yang berlaku kontinum. Kontinum karena setiap moment nan kolektif adalah rangkaian upaya yang penuh ambisi untuk merealisasikan harapan-harapan tersebut.
Harapan tentang pengetahuan sebagai ethos bagi manusia untuk hidup dan kehidupan. Sejarah peradaban manusia kemudian dicatat dalam sebuah rekaman atas proses tumbuh kembangnya pengetahuan dalam upayanya untuk memenuhi beragam kebutuhan dan tantangan kehidupan. Pengetahuan kemudian menjadi penanda bagi manusia yang sekaligus membedakannya dengan mahluk yang lain, yang membangun peradabannya sendiri. Peradaban dengan pengetahuan sebagai pondasinya dan bangunan pengetahuan tersebut terurai ke dalam berbagai ruang, dimana universitas sebagai sebuah ruang-pengetahuan menjadi epistem bagi keterbangunan kelembagaan, nilai, kultur maupun ideologi. Untuk itu semualah ruang yang semestinya ada adalah ruang-akademik dengan masyarakat yang juga akademis/akademeia. Sebuah kondisi dimana rasa keingintahuan didistribusikan, kebenaran dipertanyakan kembali hingga keragu-raguan yang menjadi energi dari setiap tindakan untuk berpengetahuan. Pengetahuan yang diolah agar setiap kita bisa bijaksana, pengetahuan agar nilai-nilai kemanusiaan tetap hadir dalam setiap makna dalam relasi individu dan dengan berpengetahuanlah kebebasan menemui format dasarnya. Format untuk membangun karakter, orientasi dan tatanan peradaban individu-masyarakat.
Oleh karenanya menjadi persoalan ketika realitas pengetahuan disekitar kita yang mengangkat nilai-nilai kemanusiaan kemudian tergantikan oleh penyeragaman pola pikir, pemaksaan keyakinan hingga ketakutan untuk berbeda. Perbedaan sebagai pondasi dasar kehidupan lalu dipaksakan untuk dihilangkan dan konflik yang seharusnya ada kemudian dipendam dalam-dalam. Kita tak pernah mengenal perbedaan dalam ruang-ruang kebudayaan yang ada, kita terkungkung oleh kebutuhan stabilitas sehingga regulasi kepentingan setiap orang sebagai bagian dari proses demokratisasi, tak terjadi. Sejarah masa lalu bangsa yang sangat dinamis kemudian berganti dengan stabilitas masyarakat yang terciptakan oleh pengawasan aparatus kekuasaan. Penjelasan pengetahuan terhadap realitaspun mengalami stagnasi bahkan kegagalan sehingga kita kesulitan untuk menyelesaikan persoalan yang ada disekitar kita yang senantiasa tumpang tindih. Oleh sebab berjaraknya pengetahuan [logika, metode, terapan] yang ada dengan kenyataan yang terus bergerak secara dinamis maka terasa wajar bila beragam masalah yang menjadi beban bangsa ini tak terselesaikan oleh kontribusi orang-orang yang berpengetahuan.
Maka menjadi penting ketika proses berpengetahuan kita sesegera mungkin mengadaptasi berbagai hal berkaitan dengan penjelasan atas perubahan yang terjadi. Kesadaran akan kebutuhan memaknai kembali konsepsi bernegara-berdemokrasi, memahami realitas masyarakat secara intens serta tak berjarak, membangun kesadaran serta memberdayakan masyarakat hingga menggugat negara atas ketidakberpihakannya terhadap publik menjadi sebuah kebutuhan yang tak terbendung seiring dengan laju perubahan global, yang mau tak mau civitas akademika mesti menyesuaikannya. Beragam penjelasan terhadap realitas yang baru akan menjadi sebuah dasar dalam merespon perubahan itu sendiri dan pada posisi itulah pengetahuan menemukan ruang axiologynya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari realitas kehidupan masyarakat dan para akademisi menemukan eksistensinya sebagai kaum cendekia nan ideologis.
Pengetahuan beserta masyarakatnya mesti mengambil peran untuk memfasilitasi masyarakat (publik) dalam relasinya dengan negara yang semakin mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan peran dan kebutuhan warganya. Dalam rentang perubahan yang sangat deras, keterlibatan masyarakat akademis mesti mampu membangun inisiasi masyarakat agar berdaya bila berhadapan dengan negara yang makin tak bersahabat. Karena masyarakat yang berdaya menjadi sebuah tujuan dari proses demokrastisasi dalam alam negara yang modern, dimana masyarakat sadar akan kebutuhannya, paham akan berbagai sebaran informasi dan mampu mengambil inisiatif dalam memperjuangkan hak-haknya. Identitas masyarakat yang mandiri, terbangun oleh melebarnya ruang-ruang pengetahuan yang telah diinvestasikan oleh pengetahuan. Keberdayaan masyarakat akan berujung pada kendali orientasi kebijakan negara untuk memihak pada kebutuhan masyarakat secara luas dan disinilah bingkai dari peran masyarakat akademis, menemukan kejelasannya.
Dengan pola pendekatan ekonomi-politik sebagai sebuah hipotesa, relasi antara negara dan masyarakat dikaji secara kritis sehingga beragam pola pendekatan keilmuwan yang ada mesti jelas keberpihakkannya. Dalam banyak kasus, kajian yang memihak pada kebutuhan lokalitas masyarakat dan mengembangkan budaya baru terlalu minim bila harus berbanding dengan dominasi wacana strukturalis, dengan segala turunan pendekatannya. Dengan pendekatan sosiologis yang menempatkan masyarakat sebagai subyek maka kebutuhan secara metodologis untuk mengawali sebuah pendekatan baru dalam tradisi keilmuan yang ada, segera dimulai. Problematika empiris yang menempatkan realitas masyarakat sebagai variabel yang terabaikan pada catatan masa lalu perkembangan pengetahuan di Indonesia, harus sesegera mungkin tergantikan. Yang terbangun sesudahnya adalah perwakilan kaum terdidik untuk belajar didalam proses kehidupan masyarakat, memahami, berdekatan, bersama-sama menikmati proses dan bersama-sama membangun kesadaran. Sebuah kesadaran sebagai individu yang independen ataupun kesadarannya sebagai warga negara yang mempunyai seperangkat hak dan kewajiban, dalam relasinya dengan individu-individu yang lain, dalam bingkai masyarakat yang demokratik. Pada titik inilah imajinasi pengetahuan idealnya menghadirkan kebebasan sekaligus keberdayaan dalam ruang-ruang pengetahuan sebagai sebuah intermediate-structure. Namun tafsiran ini terasa sepihak dan sangat subyektif atas pembacaan pada selembar papan lapuk yang terselip diantara hiruk pikuk agenda-agenda pembangunan pengetahuan disekitar kita.
Terakhir, semua uraian ini hanyalah gumanan sepele yang hadir karena sebuah kesempatan untuk berdiam diri memandangi papan nan unik tersebut, untuk kemudian hadir kesempatan yang lain untuk melamunkannya dan berusaha untuk menghadirkannya dalam sebuah tulisan sederhana ini. Jadi tak perlu ada yang harus dianggap serius ..