saatnya kampung bicara

Edisi : Senin, 31 Januari 2011 , Hal.4
Saatnya kampung bicara
Harian SOLOPOS, dalam beberapa waktu terakhir menurunkan rubrik menarik, edisi Kampung Bicara.
Sebuah rubrik yang berupaya untuk menghadirkan suara dan pesan kampung-kampung kota di Solo, baik kepada sesama warga, sesama kampung maupun pada para pemangku kebijakan, yang kemudian diikuti dengan sebuah event kampung bicara.

Agak kusam memang mendiskusikan kampung sebagai sebuah tema, mengingat Kampung Improvment Program dan dilanjutkan Integrated Urban Infrastructure Development Program sebenarnya telah dirilis sekian lama sebagai sebuah kebijakan yang diharapkan berpihak terhadap kampung. Namun praktik modernisasi di Indonesia menempatkan pembangunan fisik sebagai prioritas utama sekaligus memberi gambaran akhir kepada kita kegagalan program tersebut untuk mengintegrasikan dimensi fisik, ekonomi dan sosial pada saat yang bersamaan.

Kampung-kampung kemudian tertinggal terlalu jauh oleh kecepatan dan kemampuan kota untuk tumbuh dan berkembang. Kota berubah dalam sebuah kepentingan yang tak terjangkau oleh imaji masyarakat yang tinggal di dalamnya. Relasi kampung-kota menjadi aneh, saling menjauh, tak saling mengenal bahkan cenderung konfliktual.

Kondisi yang berlanjut dengan krisis ekonomi dan memberi dampak secara kentara di perkotaan saat garis kemiskinan meningkat secara signifikan. Kondisi tersebut menjadi dasar baru bagi diluncurkannya P2KP-PNPM sebagai respons atas bacaan statistik kemiskinan yang didasarkan pada kehidupan kampung-kampung perkotaan, bersama dengan kucuran dana serta menyisakan ragam persoalan baru di tengah-tengah warga yang selama ini tak terjangkau oleh peran negara.

Ada banyak kegagapan untuk mengeksekusi semua yang ditawarkan lalu kesemua harapan menjadi prioritas tanpa alasan yang jelas sehingga melahirkan program-program yang tereduksi oleh kepentingan pragmatis dan teknis semata.

Desentralisasi memberi ruang bagi Kota Solo untuk menginisiasi program daerah lewat mekanisme partisipatif, pelaksanaan Musrengbang lalu dilaksanakan dalam rentang satu dekade terakhir. Ada banyak kekurangan dalam level pelaksanaan namun catatan tersebut sebaiknya tidak mengurangi upaya-upaya untuk menjadikan mekanisme partisipatif ini tidak kehilangan kemampuannya menyerap aspirasi dari bawah. Di titik inilah, reformasi menemukan energinya.

Di sisi lain, kebijakan yang selaras semangatnya lahir dalam bentuk pengalokasian block grant Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) yang bersumber dari APBD. Secara otomatis, basis kebijakan tersebut akan menarget kampung-kampung sebagai prioritas utama pengembangan program dengan kelurahan sebagai batas administrasi. Sekalipun belum signifikan namun upaya tersebut mesti diapresiasi dalam kerangka desentralisasi yang menjadi arus utama dalam pengembangan pemerintahan daerah yang baru.

Rangkaian fakta di atas seharusnya menjadi konteks bagi keberanian kita semua untuk memberi artikulasi lebih bagi penguatan komunitas-komunitas yang ada dan berbasis masyarakat kampung. Warga kampung mesti berbenah untuk mengembangkan kapasitas, meningkatkan partisipasinya bersama stake holder kota hingga terlibat lebih intens dalam skema-skema rancangan program di tingkat kota, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan maupun melakukan evaluasi sebagai input bagi tindak lanjut rancangan program berikutnya.

Konsekuensi dari kondisi ini menuntut semakin berkurangnya intervensi negara dalam ranah publik sebab kemandirian sedang diupayakan untuk direalisasikan. Pada posisi inilah, warga kampung secara aktif menjadi aktor utama bagi agenda-agenda pengembangan kotanya.

Pada level yang berbeda, tuntutan perubahan yang mendera kampung harus pula menjadi perhatian. Identitas kampung yang tenggelam oleh laju tumbuh kembangnya kota serta-merta dihadirkan kembali. Tanpa harus memaksakan diri dalam tema-tema pariwisata, identitas kampung-kampung di Solo sebenarnya punya sejarah panjang ke belakang namun tarikan-tarikan kota yang modern memaksa warga untuk menanggalkan semua perangkat sosial, budaya, ekonomi.

Tenggelam

Kampung-kampung yang pada awalnya membangun kota kemudian tenggelam, tertelan dalam agenda pembangunan kota sendiri. Kampung-kampung kemudian terkepung, terjepit di antara belantara kota bahkan beberapa di antaranya tergantikan oleh proyek-proyek kota yang dipaksakan.

Ruang-ruang dalam kampung yang luas kini menyempit dan menggiring anak-anak kampung berjejal-jejal di ruas-ruas kota tanpa kesadaran tentang asal-usulnya. Bangunan identitas baru lalu dibentuk secara instan lewat pola-pola konsumtif maupun komodifikasi budaya yang melanda kota. Mungkin kondisi ini yang menjadi alasan bagi beberapa stake holder untuk mempersoalkan kembali kondisi kampung-kampung di Solo.

Menggerakkan kampung lalu menjadi pilihan dengan beragam cara maka rubrik kampung bicara yang sedang dikerjakan menemukan momentumnya. Momentum untuk memberi ruang bagi kampung-kampung menyuarakan kebutuhannya, mempersoalkan problematikanya dan menjadikan kampung sebagai diskursus baru bagi kota. Dan bila mencoba untuk menebak arah dari ide kampung bicara, menulis kampung dan mendokumentasikan kampung adalah upaya menghadirkan kembali identitas kampung lewat anak-anak muda yang berada di tengah-tengah perubahan kampung dan kota mereka.

Agenda untuk menulis dan mendokumentasikan kampung oleh anak-anak muda menjadi urgen untuk meraba-raba kembali identitas mereka secara mental, psikis maupun ruang sekaligus mengobati amnesia dan keterasingan anak-anak muda dari asal usulnya.

Festival lalu menjadi ajang ekspresi serta apresiasi atas kerja-kerja anak muda kampung menggarap kampung masing-masing. Akan ada interaksi ketika hasil dokumentasi anak-anak Kampung Gemblekan diputar di Kampung Petoran dan hasil karya anak-anak Petoran diputar di Gading. Itulah media untuk bergaul, saling menghargai, memahami perbedaan dan meletakkan fondasi bagi upaya memahami kota lewat dinamika kampung.

Ke depan, konstruksi kota harus dibangun lewat tumpukan-tumpukan kesadaran anak-anak muda tentang kampungnya sebab budaya kota adalah hasil akhir konfederasi budaya warga-warga kampung sehingga kota tak lagi dimaknai secara tunggal namun dirayakan dengan penuh kegembiraan di atas perbedaan. – Oleh : Akhmad Ramdhon Dosen Sosiologi FISIP UNS