catatan utk fisip uns blogfest

sedikit catatan kecil untuk fisip uns blogfest 2010 ..

blog = demokrasi : upaya mewujudkan ruang publik politis

sesungguhnya kemerdekaan berpendapat, memperoleh informasi,
dan kebebasan berserikat adalah hak asasi setiap warga negara
bahwa sejarah pers Indonesia berangkat dari pers perjuangan
yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan
serta melawan kesewenang-wenangan
Deklarasi Sirnagalih
Aliansi Jurnalis Independen Indonesia

bagian I
mengembangkan nalar demokrasi

Memasuki abad ke 20, sejarah negara-bangsa mengalami perubahan. Kemerdekaan yang diperoleh selepas abad 20 adalah awal dari terbangunnya sebuah pola besar tentang sistem politik modern (nation-state). Sebuah sistem yang mengeksiskan dirinya dalam sebuah mekanisme yang benar-benar baru dan secara otomatis kemudian meninggalkan pola lama yang telah bertahan dalam skala waktu yang teramat panjang (feodalisme/merkantilisme).
Negara (state) kemudian menjadi bentuk dari pola kekuasaan baru yang mengatur masyarakat dalam sistem politik yang dikembangkan masing-masing. Sebelum merdeka, bangsa-bangsa itu menjadi bagian dari pola kekuasaan lama yang meletakkan kekuasaannya secara tunggal atau sekedar menjadi bagian dari eksploitasi kekuasaan baru yang sedang membangun imperium kekuasaannya. Maka catatan sejarah kemudian menunjukkan kepada kita tentang bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang menjadi obyek dari tegaknya kekuasaan modern di Eropa. Dan abad 20 adalah awal dari lahirnya kekuasaan modern di Asia dan Afrika sebagai tanda dari selesai-nya proses kolonialisasi. Yang lahir kemudian adalah negara-negara, sebagai bentuk kekuasaan baru yang -kebanyakan- mengadopsi kekuasaan yang berkembang di Eropa sebelumnya.
tentang demokrasi
Sekalipun, demokrasi telah ada sejak dulu  namun pengakuan akan eksisitensi dari demokrasi adalah fenomena abad 20-an. Dimana fase kolonialisasi memasuki tahap-tahap akhir bersamaan dengan lahirnya negara-bangsa, yang belum tentu mengadopsi pola kenegaraan yang modern (demokratis). Dalam sebuah grafik yang menunjukkan jumlah negara pada tahun 1860-an terdapat 37 negara yang dianggap demokratis, pada tahun 1900-an lalu bertambah menjadi 43 negara hingga memasuki tahun 1990-an jumlah negara yang mulai mengadopsi demokrasi sebagai pilihan politiknya bertambah menjadi 192 negara . Artinya demokrasi kemudian menjadi trend yang pesat, yang memastikan bahwa modernitas secara politik adalah lewat demokrasi. Dan sekarang, kebanyakan dari kita semua sepakat bahwa demokrasi memberi jaminan lebih banyak untuk kemakmuran dan kestabilan.
Dengan demokrasi, maka pola rekruitmen kekuasaan menjadi lebih dimungkinkan -yang  mana hal tersebut sebelumnya tidak mungkin. Demokrasi memungkinkan juga, adanya keteraturan dalam pergantian kekuasaan lewat berbagai prosesi politik, sebab demokrasi juga mencirikan kekuasaan yang hadir bersamaan dengan pelaku yang lebih banyak yaitu masyarakat (public). Sehingga memungkinkan terbukanya peluang bagi setiap orang untuk memiliki kekuasan lewat berbagai instrumen politik modern yang tersedia.
Dalam alam modern pula-lah demokrasi yang menuntut terbukanya prosesi politik yang ada, bisa berkembang lebih pesat. Ruang-ruang politik kemudian lebih dimanis ketika demokrasi melahirkan adanya kekuatan diluar kekuasaan (oposisi), dalam setiap proses politik yang ada. Dinamika dari prosesi politik tersebut adalah keterlibatan setiap orang dalam agenda kekuasaan, yang menuntut setiap orang untuk memberi partisipasi yang aktif dalam setiap proses berjalannya sebuah kekuasaan politik.
Dengan filasafat dasar kebebasan (liberal), demokrasi menjadi pilihan yang dominan bagi banyak negara memasuki bangunan waktu abad 20. Sebab –secara teoritik- demokrasi memberi jaminan akan kekuasaan yang terbuka, sebagai wujud dari wajah kekuasaan yang demokratis itu sendiri. Sehingga kecendrungan bagai kekuasaan yang hendak membangun kekuasannya secara tiran menjadi tertutup oleh keterlibatan setiap orang dalam proses eksisnya kekuasaan tersebut.
Implikasi secara langsung dari terhindarnya kekuasaan yang tiran adalah terjaminnya hak-hak individu, dalam alamnya yang penuh dengan prinsip-prinsip kebebasan. Sejauh kebebasan yang dimiliki tidak memasuki dan mengganggu kebebasan orang lain maka kebebasaan akan selalu absah bagi individu. Pengalaman akan kekuasaan yang tiran pada abad 20, masih menggelantung dalam benak banyak orang ketika Yoseph Stalin (1929-1953) berkuasa di Uni Sovyet, yang dalam menegakkan kekuasaannya kemudian membrangus kebebasan setiap orang. Sama juga ketika Adolf Hitler berkuasa (1933-1945) yang mampu meluluh lantakan daratan Eropa sekaligus menghabiskan nyawa manusia baik lewat peperangan yang dikobarkan-nya pada Perang Dunia II ataupun mereka yang mati untuk alasan yang tidak masuk akal (genocide), yang juga berlaku ketika Pol Pot menjadi tiran yang tak tertandingi di Kamboja (1975-1979). Khmer Merah yang memegang kekuasaan menjadi rezim yang keji ketika membantai seperempat penduduk Kamboja karena alasan-alasan politik yang sekali lagi juga tidak masuk akal .
Dengan alasan itulah, demokrasi menjadi kiblat bagi kebanyakan negara-negara yang ada. Pilihan terhadap demokrasi memberi garansi kepada mereka akan adanya jaminan terhadap hak-hak asasi individu, jaminan kebebasan bagi setiap individu sekaligus jaminan setiap hak dasar bagi individu untuk menentukan kebebasannya.
Jaminan terhadap hak dasar individu juga mereduksi jaminan yang lebih luas bagi kepentingan individu diluar hak-hak politik. Artinya demokrasi bukan monopoli dari perdebatan politik semata namun menjadi landasan bagi setiap kepetusan banyak orang (to proces) dalam menentukan keinginannya. Dalam dimensi ekonomi, adanya kekuasan yang demokratis akan berarti adanya jaminan  terhadap peluang mendapatkan akses ekonomi yang lebih demokratis juga, dan itu berarti akan memberi jaminan yang lebih luas lagi bagi setiap individu untuk memperbaiki kemampuan perekonomiannya.
Hal yang sama juga terjadi dalam dimensi kehidupan yang lain, dimana demokrasi kemudian menjadi pondasi bagi kerangka kebijakan seseorang dalam membangun struktur masyarakatnya. Demokrasi bukan menjadi sebuah ciri yang mutlak dalam setiap bingkai masyarakat atau negara namun demokrasi hanyalah sebuah kerangka pikir dari setiap individu ketika harus berhubungan dengan orang lain, entah dalam hubungannya dengan politik, ekonomi, sosial ataupun budaya.
Kemudian bagaimana pelembagaan demokrasi sendiri kalau demokrasi adalah kerangka kebijakan. Dalam pemaknaan individu, maka pelembagaan demokrasi adalah dengan tata kelakuan yang menjamin setiap hak-hak seseorang didalamnya. Dan dalam pemaknaan negara maka kontsitusi adalah reperesentasi dari kerangka yang dapat menggambarkan demokratis atau tidaknya satu negara. Namun, pelembagaan dalam ruang negara tidak bisa berjalan begitu saja tanpa adanya varaiabel lain yang mamapu menggeser ide-ide dari demokrasi. Seperti kekuatan militer, yang mana hal ini menjadi varaibel penting adalam penjelasaan peta politik dunia ketiga. Di samping juga variabel yang menjelaskan kekuatan ekonomi (pemodal) sebagai bagian dari kekuasaan yang eksis diluar kekuasaan politik.
Banyak fakta yang bisa menjelaskan relasi antara kekuasan politik yang dicampuri oleh otoritas militer ataupun keterlibatan para pemilik modal,  yang pada akhirnya berimplikasi pada rusaknya proses yang dicita-citakan dalam semangat yang demokratis (political decay). Dan hal tersebut menjad satu kondisi yang dipertahankan terus menerus oleh setiap pelaku kekuasan yang mengambil keuntungan dari situasai tersebut. Kondisi yang seperti itu bertahan dalam sebuah kestabilannya, karena lambatnya proses pendidikan bagi setiap orang sebagai awal dari adanya kesadaran untuk berpartisipasi dalam setiap proses yang ada. Disamping juga karena adanya keberjarakan yang terus dipertahankan dalam permasalahan ekonomi, sehingga bangunan kebutuhan akan adanya proses yang demokratis dalam setiap ruang kehidupan bergeser menjadi sekedar menjadi bangunan pemenuhan kebutuhan ekonomi semata.
Di kondisi inilah kemudian paradoks demokrasi dengan prinsip kebebasannya mulai terasa. Negara sebagai kekuasan yang sah, kemudian dhadapkan pada pilihan harus menentukan kebijakannya yang berorientasi pada kepentingan yang mana. Ketika ruang kebebasan dibuka lebar ternyata tidak setiap individu ada dalam posisi yang sama dan bisa bersaing untuk menentukan eksistensinya. Ternyata setiap pelaku yang berorientasi pada kekuasaan, juga memendam kepentingannya masing-masing dalam bingkai yang lebih sempit tanpa harus mempertimbangkan kepentingan yang lain.
Berarti siapa yang bisa melakukan kotrol dalam alam demokrasi yang penuh dengan luapan kekebasan ini, ketika hukum-pun mengalami pe-reduksian kepentingan oleh mereka yang berkuasa. Pada saat yang sama, moral setiap orang dipertanyakan dan kepentingan masing-masing didahulukan.

bagian II
mengembangkan demokrasi
dengan instrumen media

Dalam diskursus tentang demokrasi dan bagaimana demokrasi dipraktekkan, maka tak lekang dari sebuah perdebatan tentang mekanisisasi dari praktik-praktik politik yang demokratis menjadi penting untuk didiskusikan. Sebab term demokrasi tak bisa direduksi dalam sebuah perbicangan tentang pemilihan umum semata, oleh karena konsepsi dasar tentang partisipasi, meliputi beragam aktivitas para pelaku, dalam berbagai ruang, dalam berbagai bentuk dan dalam berbagai mekanisme.

Partisipasi dan ruang publik
Kata kunci yang paling utama ; Partisipasi adalah sebuah ciri dari karakter politik modern, dimana keterlibatan setiap bagian dalam sebuah ruang-ruang politis hadir sebagai sebuah keniscayaan . Dan pada titik inilah (partisipasi) kemudian membedakan beragam prosesi politik yang terjadi, dalam sebuah ektrimitas yaitu demokratrik atau non demokratik.
Keterlekatan partisipasi dengan politik kemudian menghadirkan beragam makna, apakah partisipasi terepresentasikan dalam perilaku, persepsi atau partisipasi yang hadir dalam bentuk pensikap-an atas sesuatu, oleh individu atapun akumulasi-akumulasi individu. Namun beberapa hal tentang artikulasi partisipasi penting untuk disampaikan, antara lain : bahwa setiap individu yang melakukan  sesuatu -dalam beragam kebutuhannya- kemudian menjadi bagian dari kebutuhan orang lain dan berkaitan dengan bagaimana kebijakan yang mempengaruhi banyak pihak, juga menghadirkan partsipasi publik secara luas pula. Artinya adalah, bahwa dalam setiap ruang politis yang demokratis, partisipasi publik secara luas (atapun terbatas) menjadi keharusan, dan dari sanalah demokrasi diindikasikan. Problemnya kemudian adalah bagaimana partisipasi tersebut, dihadirkan untuk kemudian dimekanisasikan.
Makna penting dalam relasi antara ruang-ruang demoktratik dengan partisipasi adalah kehadiran subyek, dan dalam relasi ini subyek diartikulasikan sebagai publik (public). Asumsi tersebut berangkat dari epistemologi demokrasi sebagai regeluasi kewenangan akan kekuasaan atas publik oleh publik, konsekuensinya kemudian adalah penghadiran individu-individu (publik) secara luas dalam melakukan kontrol atas kekuasaan yang telah dipercayakan, kepada individu yang lain dan ruang tersebut dinamai ruang publik . Pada ruang publiklah, beragam aktivitas individu menjadi aktivitas yang bebas dan setara, individu dapat memaknai relasi komunikasi antar individu dalam pemaknaan-pemaknaan yang subyektif-mendalam, mampu membangun solidaritas, dimana keterlibatan dan partisipasi menjadi sebuah semangat.
Eksistensi ruang publik kemudian menyeruak dalam bingkai-bingkai kekuasaan yang semata-mata hanya dapat dipahami secara elitis lewat keberadaan lembaga-lembaga politik seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemahaman akan kedaulatan publik (sejauh ini) kemudian secara serta merta dikooptasi (untuk kemudian direduksi) oleh legislatif misalnya, sekalipun mereka dihadirkan atas nama keterwakilan publik. Ruang-ruang publik, menjadikan publik mandiri, dalam menentukan sikapnya atas beragam pilihan-pilihan politik yang ada dan secara mandiri pula mampu membangun keberjarakannya dengan kekuasaan, yang sering kali tak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar publik. Pada posisi inilah ruang publik kemudian melampaui berbagai bayangan tentang keterwakilan mereka oleh partai-partai politik. Sehingga kita berani membuat kesimpulan tentang demokrasi yang tidak hanya diperbincangkan dalam ruang-ruang parlemen belaka (dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif, sebagai aktor) namun secara luas pula, publik menjadi bagian dari pelaku-pelaku aktif demokrasi.

Sebagai sebuah pilar, ruang publik (dengan komunikasi sebagai subyek aktivitasnya) kemudian termekanisasi lewat keberadaan teknologi ; media ; pers. Media-lah yang bekerja melakukan pertukaran informasi dalam relasi-relasi politik pada pilar-pilar dasarnya, aktivitas-komunikasi politik eksekutif, legislatif dan eksekutif, kemudian diantara-i dan disseminasikan keluar dari kepengapan batas-batas ruang politik formal untuk kemudian menjadi bagian dari publik yang di-diskursuskan .
Sejarah kita tentang mekanisme tersebut, hanya membuktikan kegagalan atas terciptanya ruang publik politis yang mandiri. Otoritarianisme eksekutif terlanggengkan oleh ketidakberdayaan-nya legislatif dan yudikatif, yang mana eksistensi keduanya tidak lebih dari lembaga-lembaga pembenaran. Krisis akan legitimasi kemudian menyeruak dalam semua turunan negara, oleh publik. Dan ruang bagi publik, hanya menyisakan pilar demokrasi yang lain yaitu media. Media kemudian berusaha untuk tetap berada dalam kebebasannya, sebab kehadiran publik untuk melakukan pengawasan atau penuntutan atas kebutuhan hanya dapat bersandar pada media, dimana beragam komunikasi antar individu disuarakan dan diartikulasikan.
Maka media yang merepresentasikan ruang publik kemudian menjadi variabel yang penting dalam menjalankan roda-roda demokrasi. Dimana kehadiran media (dengan semua pilihan-pilihan bentuknya), yang menjalankan fungsi-fungsi publiknya, mempunyai peran yang signifikan dalam mengkonstruksi proses-proses demokrasi.
Mari membuat blog, mari menulis, mari berdemokrasi ..

bacaan tambahan :
Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital, Pustaka Pelajar 2003
Budi Hardiman, Ruang Publik Politis, komunikasi politis dlm  masyarakat majemuk, Bentara KOMPAS 2004
Carol C Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, Tiara Wacana 1993
Driyarkara, Hannah Arendt dan tindakan politis, September 2002
Friedrich Naumann Stiftung, Politik dan Radio, buku pegangan bagi jurnalis, 2000
Samuel Hungtinton-Joan Nelson, Partisipasi Politik, di negara berkembang, Rineka Cipta 1994
Robert Dahl, Perihal Demokrasi ; menjelajah teori dan praktek demokrasi, YOI 2001
Ignatius Haryanto, Kepemilikan Media Terpusat-Ancaman Terhadap Demokrasi, Bentara KOMPAS 2004
International Federation of Journalists and Statewatch, Journalism, Civil Libertie the War on Terrorism A Special Report, 2004