Ikatan Sosiologi Indonesia

Publikasi Ikatan Sosiologi Indonesia 2013
Memahami Kembali Indonesia
Penyunting: Akhmad Ramdhon

Pengantar

Ide-ide Reformasi tak terasa telah berjalan satu dekade lebih. Banyak perubahan yang terjadi, desentralisasi, pemilihan umum yang terbuka, pemilihan presiden secara langsung, pemilihan kepala daerah, reformulasi regulasi, penataan kembali kelembagaan dalam skala nasional hingga regional. Transisi tersebut juga beriringan dengan ketegangan, konflik, dan kekerasan yang melanda nusantara. Indikator-indikator kemiskinan, kriminalitas, dan korupsi tiba-tiba menyeruak bersamaan dengan tumbuhnya indikator pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dalam skala yang lebih luas. Beragam tantangan hadir bersamaan dengan momentum global untuk sesegera mungkin diadaptasi.

Melihat kembali semua gejala dan jejak perubahan yang ada dan telah terjadi dalam era Reformasi menjadi penting untuk memberi bekal pengetahuan sekaligus menjelaskan posisi strategis kita dalam berbangsa dan bernegara. Upaya mengupdate semua bentuk-bentuk pengetahuan terbaru akan menjadi modal bagi semua pihak untuk mengambil langkah-langkah terbaik bagi proses dan upaya untuk berkontribusi bagi pengejawantahan Reformasi. Perubahan yang telah berjalan mesti dilihat kembali dalam sudut pandang yang kritis agar kita punya kesempatan memperbaki dan tidak lagi mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu. Untuk itu, beragam kontribusi dalam bentuk temuan ide, riset, dokumentasi maupun publikasi tentang beragam perubahan yang telah terjadi satu dekade terakhir menjadi urgent untuk mengkajinya bersama-sama.

Materi dalam buku ini adalah rangkaian dari Seminar Nasional Ikatan Sosiologi Indonesia #2013, yang bertujuan untuk mempertemukan para peneliti, pengajar, pembelajar, dan peminat Sosiologi seIndonesia lewat forum ilmiah yang berkala. Kesempatan untuk bersama dalam forum akan memberi kesempatan untuk berdialog, berdiskusi, dan mempublikasi temuan-temuan terbaru dalam bidang Sosiologi.

Ada beragam hasil kajian yang hadir, dalam upayanya untuk memahami kembali Indonesia -selepas satu dekade perubahan yang dirilis bersama pekik Reformasi. Tuntutan tentang perubahan diserukan bersamaan dengan kesadaran publik untuk mempersoalkan kembali makna tradisi. Bagian Tradisi dan Perubahan, menghadirkan persoalan tradisi terkait dengan isu agraria baik dalam kasus Sanggang maupun dalam jebakan keistimewaan Yogyakarta, formalisasi tradisi di Kauman hingga proses institusionalisasi komunitas-komunitas khusus/nan modern di Makasar. Tradisi juga harus menghadapi kenyataan bahwa persoalan globalisasi juga telah menghadirkan fakta-fakta baru tentang kehidupan, untuk kemudian tradisi mampu merespons dalam bentuk-bentuk, seperti: tenun Toraja yang berupaya tetap bertahan,  pasar tradisional di Surakarta yang direvitalisasi, hingga konstruksi identitas yang bangun oleh pesantren Al-Mukmin secara kelembagaan. Disisi lain, rasionalitas menjadi mekanisme bertahan bagi para perajin di Kota Gede dan praktek-praktek kapitalisasi oleh komunitas Pasompe dengan segala konsekuensinya.

Persoalan lingkungan menjadi fokus kajian untuk melihat kembali Indonesia, yang membentang permasalahan lingkungan mulai dari kebijakan reformasi pengelolaan hutan, sertifikasi hutan dan partisipasi pengelolaan hutan di Gunung Kidul, hingga perlawanan pengelolaan hutan di Muna Sulawesi Tenggara. Ide-ide pemberdayaan didorong untuk pengelolaan semua sumber daya alam yang ada, tak hanya hutan tapi juga air di Batu Malang, nelayan, hingga strategi pengelolaan atas bencanapun harus mengalami pembaharuan. Pemberdayaan warga mutlak tak terhindarkan bersamaan dengan semangat untuk menjadikan seluruh sumber daya yang ada sebagai subjek dan bukan lagi sekedar obyek dari perubahan yang terjadi.

Kehadiran manusia yang menjadi subyek juga berlaku dalam kajian isu perempuan yang makin berupaya untuk berdaya lewat politik di Bali, teknologi Jateng-Yogyakarta, maupun rumah tangga berspektif gender di Soppeng-Bone hingga kelembagaan PKK. Namun beragam tantangan tetap menghadang ketika kepekaan belum menjadi mainstream kolektif, dimana narasi perempuan pembunuhpun perlu dipahami sebagai relasi sebab-akibat, kekerasan masih terjadi di Palembang, pekerja terburuk anak dan Ayla masih menjadi potret di Surakarta, perkawinan dibawah umur di Cianjur, hingga buruh migran di Jawa Timur.

Problem diatas tumpang-tindih dengan proses pembelajaran yang juga berlaku dalam lingkup pendidikan disekitar kita. Dimana tantangan mewujudkan pendidikan inklusi, multi kultural, pendidikan dasar anak, hingga tantangan untuk meminimalisir kekerasan dalam dunia pendidikan. Strategi pendidikan pada saat bersamaan sebenarnya juga mampu menjadi modal sosial bagi warga, yang juga dikaji lewat beragam temuan seperti: modal sosial dalam relasi ekonomi batik, falsafah Gusjigang, jejaring korban konflik di Poso, jejaring kelembagaan di Majalengka hingga revitalisasi  masyarakat di Makasar maupun pemberdayaan masyarakat di Manado.

Selain isu-isu tradisi, lingkungan, pendidikan dan modal sosial, kompleksitas buku ini juga hadir lewat kajian tentang politik citra dalam perspektif kekuasaan, seksualitas masyarakat beresiko, transformasi disiplin klinis, konstruksi sosial tubuh, konflik anak-anak muda penggemar bola hingga kultur resiko nan traumatis. Paradoks modernitas yang hadir juga menuntut penjelasan yang lebih memadai, oleh karenanya bagian akhir buku ini hadir kajian tentang restrukturisasi pendidikan Sosiologi, Neuro-Sosiologi, maupun Sosiologi di era pasca ruang. Semua kajian tersebut hadir untuk menjadi bagian dari upaya menjelaskan perubahan yang terjadi, sekaligus membangun keterlibatan lebih dalam dari bentuk-bentuk pengetahuan yang ada