Perempuan Penyangga Kota: Marjinalisasi dan Eksploitasi

 

… kota kita memang makin megah dan kaya,
tapi hari sudah malam, ayo kita pulang ke rumah kontrakan,
tidur berderet-deret seperti ikan tangkapan siap dijual di pelelangan,
besok pagi kita ke pabrik kembali kerja,sarapan nasi bungkus,
ngutang, seperti biasa.
Nonton Harga,
Wiji Thukul (1996)

Kota dan Urbanisasi

Paper ini menjelaskan keterbangunan kota, lewat urbanisasi yang menggejala secara general. Urbanisasi yang terjadi menggerakkan sumber daya manusia sekaligus membentuk kota dalam bingkai ekonomis. Salah satu daya tarik kota untuk urbanisasi adalah proses industrialisasi yang tak bisa lepas dari sejarah kolonialisasi. Industrialisasi dan keberadaan sumber daya manusia (khususnya perempuan) menjadi penyangga bagi tumbuh kembang kota-kota hari ini. Wajah kekinian kota bergerak dengan arah perubahan kota layaknya kota-kota di Eropa. Kondisi tersebut sebagai bagian yang tak terhindarkan atas lamanya masa-masa kolonialisasi. Analisa atas perkembangan kota kemudian dikategorikan menjadi empat periode dalam sejarah yaitu periode sebelum perdagangan dunia, periode perdagangan ekspansif, masa revolusi industri, pergeseran kapital dan periode pasca PD II. Dampak keberadaan kolonialisasi terasa sejak masa ketiga fase perkembangan kota dan mulai menyurut selepas kemerdekaan dialami oleh berbagai negara-negara belahan Dunia Ketiga (Nas, 1997 & 2012). Pergerakan dinamika kota dekolonialisasi kemudian mengalami kecenderungan yang kurang lebih sama dengan trend perkembangan kota-kota di Eropa yang telah mapan sebelumnya yaitu menjalarnya urbanisasi. Dimana kota menjadi konsentrasi atas banyak aspek kehidupan manusia, dengan beragam kebutuhan yang menyertainya.

Pergerakan manusia yang terkonsentrasi ke dan menuju perkotaan (urban) menjadi bentuk konkret atas perkembangan kota-kota awal abad 20-an hingga kini. Perpindahan penduduk ke kota (berbagai bentuk migrasi; ulang-balik ; menetap) diikuti pertumbuhan pemukiman oleh sebab meningkatnya persentase jumlah penduduk kota yang kemudian menjadi konsepsi dasar tentang urbanisasi (Kitagawa, 1998). Pada beberapa kasus di beberapa negara berkembang potret urbanisasi merupakan proses yang berjalan secara terus menerus dan tidak dapat ditekan laju pergerakannya. Ada beragam kekuatan yang menyebabkan proses tersebut berjalan secara simultan oleh sebab dinamika kota yang semakin lanjut, sebagai efek dari adanya kolonialisasi dimana kota tumbuh dan dijadikan pusat konsentrasi atas penguasaan dan pengelolaan daerah jajahan. Dan situasi tersebut masih tetap bertahan sekalipun telah terjadi proses dekolonialisasi. Teknologi yang tersedia dan hanya dapat diakses di kota semata-mata menyebabkan terpusatnya berbagai inovasi teknologi manusia di ranah kota. Pertumbuhan penduduk secara keseluruhan menunjukkan peran dalam mempertegas pentingnya arti dan makna kota bagi penghidupan. Di negara-negara maju, lalu lintas penduduk dalam negeri atau dari/ke kota menjadi alasan atas tingginya laju urbanisasi disamping meningkatnya jumlah pendapatan/upah diwilayah perkotaan. Berbeda dengan kasus-kasus pada negara-negara berkembang dimana perubahan penduduk secara alami merupakan selisih jumlah antara kelahiran dan kematian yang menjadi variabel dominan untuk mendorong laju urbanisasi, selain faktor ketimpangan pembangunan (Knox, 1982).

Ada banyak paparan tentang kuantifikasi fenomena urbanisasi dan dinamikanya di berbagai belahan dunia.  Efek urbanisasi tampak pada tahun 1960 ketika kenaikan atas meningkatnya jumlah penduduk kota mencapai kisaran angka 51.6 juta menjadi 590 juta atau meningkat 20%. Dimana fakta lain tentang urbanisasi adalah tentang level urbanisasi (persentase jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan dibagi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan) dan pada kasus Indonesia terdapat kenaikan yang konstan: 1960 terdapat 15%, 1970 terdapat 17%, 1980 terdapat 22% dan 1990 terdapat 31%.   Pada saat ini, sekitar 43% penduduk dunia tinggal di daerah perkotaan, dimana di negara-negara maju terdapat 93% dan di negara-negara berkembang terdapat 34%. Sehingga kalo dikalkulasi periode 1950-1990 terdapat 2,3 milyar dan 1990-2020 diperkirakan terdapat 4,6 milyar penduduk akan menghuni kota (Nurmandi, 1999). Kondisi tersebut tak terhindarkan, akibat pemusatan beberapa sektor kehidupan seperti perdagangan, industri, pendidikan hingga politik menjadi penyebab utama signifikansi angka-angka tersebut akibatnya kota makin dinamis dan kompleks atas berbagai hal.

 

Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota

Kawasan kota sebagai mekanisme perekonomian secara tidak langsung adalah sebagai konsekuensi dari perkembangan sektor pertanian yang memperoleh pencapaian hasil pertanian secara maksimal bahkan kelebihan/surplus sekaligus mampu menstimulan perkembangan pasar sebagai bentuk transaksi atas pertemuan-pertemuan aktivitas ekonomi. Akumulasi atas kondisi ini menstimulan pula pengelompokkan masyarakat di luar sektor pertanian dan pada saat yang bersamaan proses industrialisasi (awal) melebar. Pembagian kerja dan spesialisasi kemudian menjadi ciri masyarakat yang membentuk kota-kota industri disamping terstratifikasinya pola pendapatan dan pola konsumsi masyarakat dalam struktur ekonomi berbasis non agraris. Proses tersebut menjadi penanda bagi terjadinya transisi dari ekonomi tradisional ke modern (Lindblad, 2002; Zanden dan Marks, 2012). Kondisi ekonomi modern yang mapan, membutuhkan pola pengaturan atas berbagai hal dan tata pemerintahan kemudian menjadi jalan keluar atas persoalan ini. Kawasan kota kemudian menjadi satuan-satuan pemerintahan/manajerial dimana kondisi penduduk makin banyak, persoalan makin kompleks dan kebutuhan makin beragam. Relasi-relasi individual kemudian membutuhkan mediator dan spesialisasi pekerjaan melahirkan profesi bagi sebagian individu untuk mengatur dan menata kota, dengan segala aspeknya. Kondisi ini juga diikuti oleh dinamika ruang dalam berbagai bentuk dan maknanya dalam lingkungan dan kawasan perkotaan. Pertumbuhan ekonomi dan investasi menyeret pola pendapatan dan pola konsumsi masyarakat dalam ragam-ragam kebaharuan (Evers, 2002). Perkembangan fisik kota sangat pesat layaknya perkembangan jumlah manusia-manusia yang memilih kota sebagai aras kehidupannya. Ekonomi dan politik kota serta merta menjadi simpul atas semua kondisi teraktual kawasan perkotaan.

Potret kekinian kota selepas melewati beberapa fase: kolonialisasi yang panjang, dekolonisasi, nasionalisme dan kemerdekaan  serta merta berubah. Sebagian dari dinamika akhir kota kemudian menjadi bagian yang tak terpenggal dari sejarah masa lalu, nasionalisme dan semangat kemerdekaan kemudian menjadi latar atas berbagai kebijakan untuk melakukan nasionalisasi atas berbagai peninggalan kolonial. Wajah kota kemudian penuh dengan ambiguitas dimana sebagian bingkai kota adalah bagian panjang dari masa lalu sebuah kolonialisasi dan sebagian bingkai yang lain adalah upaya dan kerja keras kekuatan awal dari nasionalisme dan pembangunan sektor-sektor industri yang kemudian menjadi pintu awal atas berbagai dinamika perkotaan lanjut (Lindblad, 2002). Proses industrialisasi melahirkan beberapa potret tawaran kemakmuran dan sekaligus potret urbanisasi yang luar biasa. Analisa atas pembangunan dan dinamika perekonomian kota tak bisa mengabaikan proses urbanisasi sebagai daya dorong dari gerak laju pembangunan dan modernisasi. Dimana logika yang dikembangkan adalah modal dan tenaga kerja yang telah menjadi bagian serta tak bisa dipisahkan dari perkembangan sektor perdagangan, terutama perdagangan modern. Berbeda dengan kondisi tersebut di negara-negara berkembang, proses urbanisasi berjalan secara konstan namun proses industrialisasi berjalan lambat. Di sisi lain akibat proses liberalisasi dan komersialisasi atas tanah yang begitu lama oleh kolonial, berakibat pada menurunnya kemampuan dan proses produksi pada sektor pertanian. Akhirnya pertumbuhan sektor perekonomian yang transisional dari pola tradisional ke modern tetap membutuhkan waktu yang relatif lama dan lambat (Geertz, 1983).

Industri dan Marjinalisasi Perempuan

Jejak kekuasaan kemudian beralih pada Orde Baru, yang langsung membuka diri pada modal asing untuk segera melakukan stabilisasi ekonomi dengan memberlakukan UU No. 1 Tahun 1967 dan UU No. 6 Tahun 1968 sebagai upaya untuk menggerakkan kembali geliat ekonomi dengan injeksi modal paska ketidakstabilan Orde Lama (Vatikiotis, 1993; Robinson, 1986). Langkah keterbukaan akan modal asing lalu mengawali sebuah fase ekonomi yang berwajah baru yaitu ekonomi dengan fondasi modal asing  yang menempatkan diri pada pondasi struktur ekonomi non pertanian. Wajah kota berubah, dengan hadirnya berbagai infrastruktur untuk mengakselerasi agenda pembangunan yang baru seperti perhubungan, pengangkutan hingga pembangkit tenaga listrik sebagai sumber daya penggerak mesin-mesin industri. Sebagai catatan (Arndt, 1991), laju pertumbuhan rata-rata pertahun pada sektor pertanian 1960-1965: 1.4%, 1965-1970: 3.2%, 1970-1977: 4.2%, bandingkan dengan  pada  sektor industri 1960-1965: 1.7%, 1965-1970: 4.8%, 1970-1977: 11.3%. Implikasi yang nyata adalah produk domestik bruto 1969-1973, laju perbandingan pertumbuhan antara sektor manufaktur dapat mencapai 10.6% seimbang dengan sektor perdagangan dan perhotelan, mengalahkan sektor pertanian yang hanya mempunyai laju pertumbuhan rata-rata 5.6 % (Muhaimin, 1991; Wee, 2004).

Selain sektor pertambangan, sektor industri pakaian menjadi pilihan yang diminati oleh banyak penanam modal di Indonesia, terutama di Jawa. Kondisi serupa ternyata terjadi di berbagai belahan di Asia, dimana pertumbuhan kota ditopang oleh produk domestik bruto yang besar dari proses industrialisasi (Wee, 1994; Prisma, 1986). Di Indonesia pertumbuhan industrialisasi yang mempunyai kemampuan daya dongkrak ekspor yang tinggi salah satunya adalah industri pakaian jadi, tahun 1986 jumlah investasi pada usaha industri pakaian jadi meningkat secara tajam dari 1975 dengan 72 pabrik yang menyerap 2.804 pekerja, menjadi 565 pabrik dan mampu mempekerjakan kira-kira 63.575 orang pekerja yang didominasi oleh tenaga kerja perempuan di tahun 1986. Jumlah ekspor pakaian jadi dan tekstil meningkat tajam: 1985, 339.6 ton eksport pakaian jadi, yaitu 219.7 ton ekspor tekstil) menjadi 1.200.4 ton pakaian jadi-892.6 ton eksport tekstil (Wee, 1994).

Proses industrialisasi berjalan massif bersama derasnya kebijakan Orde Baru untuk mengakselerasi kemajuan. Kota-kota tumbuh bersama proses industrialisasi yang melebar dan ditopang proses urbanisasi yang tak terkendalikan. Di atas semua proses tersebut, perempuan adalah tenaga penyuplai terbanyak bagi proses tumbuh kembangnya industri di perkotaan. Industrialisasi dalam beberapa hal merubah formasi perempuan dalam banyak sektor (Brenner, 1991). Mulai dari transformasi pekerjaan yang tak lagi berbasis agraria, dimana sektor tersebut dikategorikan sebagai sektor domestik. Sektor yang hanya berpendapatan relatif murah, dengan skala pendapatan musiman, melelahkan dan berkaitan erat dengan pekerjaan domestik. Kondisi yang tak terelakkan sebagai akibat dari kebijakan arah industrialisasi massif dari subtitusi import ke ekspor. Kota-kota yang semakin penuh dengan para pendatang, juga mengalami perluasan akibat orientasi industri. Tawaran kehidupan lebih baik di perkotaan, dengan sektor industri sebagai salah satu opsi pekerjaan yang terbuka luas. Selain sektor-sektor informal yang lainnya (Murray, 1995; Jellineck, 1995; Endang & Mamahit, 1999) dan catatan ILO mengkonfirmasikan bahwa kecenderungan kaum muda yang tinggal di perkotaan terus meningkat sedangkan kecenderungan untuk tinggal di pedesaan makin berkurang. Pada tahun 1971, kaum muda yang tinggal di perkotaan dan pedesaan secara berturut-turut berkisar 21.5% dan 78.5%, sedangkan pada tahun 2002 perbedaan ini mengerucut menjadi hampir 50%. Hal ini dipengaruhi urbanisasi massal selama dua dekade terakhir dan berkembangnya kota-kota baru di Indonesia (ILO, 2004). Di sisi lain, implikasi demografis selama 30 tahun terakhir, proporsi populasi kelompok muda, baik remaja (15-19 tahun) maupun orang dewasa muda (20-24 tahun), telah meningkat dibandingkan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan. Hal ini mengkonfirmasi adanya dominasi kelompok muda dengan jumlah yang mencapai sekitar 18% dari jumlah penduduk secara keseluruhan.

Fakta diatas mempertegas keberadaan perempuan-perempuan pedesaan yang melakukan urbanisasi untuk menyangga perkembangan sektor-sektor industri di perkotaan, seperti industri manufaktur, perdagangan dan jasa. Selain industri, sektor-sektor informal yang lainnya juga menampilkan sisi lain kehidupan perempuan perkotaan (Murray, 1995; Jellineck, 1995; Sedyaningsih dan Mamahit, 1999). Kenyataan lain dari proses urbanisasi yang terjadi juga menghadirkan narasi perempuan-perempuan minim ketrampilan yang berbondong-bondong ke kota, berharap kebaikan dikota-kota besar. Dengan ketrampilan yang terbatas, perempuan-perempuan tersebut secara otomatis tak dapat bersaing untuk ikut bekerja disektor-sektor industri perkotaan dan sektor informal menjadi pilihan paling realistis. Proses industrialisasi bersaing menjadi energi terbesar bagi pertumbuhan kota yang tak terencana dengan baik. Pertumbuhan lapangan kerja formal tak sebanding dengan gerak urbanisasi yang ada, sehingga daya tampung sektor formal sangat terbatas hanya bagi para pekerja yang memenuhi syarat angkatan kerja. Sensus Penduduk tahun 1980 mencatat sekitar 33% dari seluruh angkatan kerja yang bekerja secara aktif adalah tenaga kerja perempuan dan pada tahun 1990 tenaga kerja wanita yang aktif menjadi 34,5% (Hakim, 2011). Perluasan ini sebagai implikasi dari perluasan sektor lapangan kerja diluar sektor formal yaitu sektor informal yang terdiri dari mereka yang bekerja sendiri, buruh tidak tetap, maupun pekerja dalam lingkungan keluarga.

Di sektor industri, kelompok pekerja perempuan tersebut adalah penghasil produk-produk massal untuk kebutuhan ekspor seperti garmen, tekstil, sepatu, rokok, dan sebagainya. Target produksi yang tinggi pulalah yang menjadi daya serap terbesar para pekerja perempuan ke pabrik-pabrik perkotaan yang penuh kontradiksi. Ribuan perempuan terintegrasi dalam teknologi industri dan modal yang memacu waktu untuk menghasilkan sebanyak mungkin produk serta upah seminimal mungkin (Ken Suratiyah-dalam Abdullah, ed. 2006). Cita-cita bekerja di kota tak terasa telah menutup peluang untuk melakukan negosiasi tentang hak dan kewajiban dunia industri. Relasi pekerja dan pemodal timpang oleh lemahnya kontrol negara, sekalipun ada beberapa catatan gerakan dari serikat-serikat pekerja namun hasil akhirnya masih jauh dari harapan. Bermodalkan pendidikan yang relatif rendah, dengan basis asal kantong-kantong di pedesaan dan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik memberi garansi bagi para pemodal untuk memberi tekanan lebih pada pekerja perempuan.

Sistem kerja disektor industri adalah sistem dengan kontrol yang ketat, hirarki kerja yang menempatkan perempuan di bagian produksi, jam kerja yang panjang berbasis target produksi, hingga fasilitas kesehatan yang rendah kualitasnya hingga peraturan kerja yang dibuat sepihak menciptakan nasib para pekerja untuk tunduk dan loyal. Sistem ban berjalan menjadi mekanisasi kerja berdasar sistem target produksi menciptakan ketergantungan kerja para pekerja perempuan dalam satu line kerja, yang terdiri dari 10-40 orang. Setiap orang mengerjakan pekerjaan yang berbeda, akan tetapi saling melengkapi. Kondisi tersebut memungkinkan para pekerja untuk saling menyesuaikan sistem kerja agar target produksi tercapai. Selama bekerja dilarang bicara, diatur giliran ke kamar mandi, dibatasi waktu untuk istirahat dan beribadah, hingga didenda bila melakukan kesalahan. Semuanya menjadi modus bagi proses industri untuk mengalihkan fungsi kontrol kepada buruh (Indrasari Tjandraningsih dalam Abdullah, ed. 2006).

Sistem hirarki yang berlaku, diciptakan untuk mengalihkan mekanisme kontrol secara langsung pada para pekerja. Sebagai model hirarki dibeberapa pabrik garmen, menganut sistem pembagian kerja dalam dua tingkatan, tingkatan manajerial yang komposisinya sangat terbatas dan tingkatan produksi yang jumlahnya sangat mendominasi. Hirarki tersebut secara otomatis menempatkan pekerja perempuan dibagian produksi, berdasarkan preferensi tentang ketelitian, kecermatan, kecepatan, maupun ketekunan. Dalam prosesnya, setiap bagian produksi akan mempunyai bagian tugas yang berbeda-beda. Semisal proses produksi baju maka distribusi pekerjaan akan terbagi dalam kelompok-kelompok pembuat pola, pemotong bahan, penjahit, pemasang aksesoris, pemasang label hingga pengemasan. Pola tersebut membelah para pekerja dalam kelompok yang berbeda, untuk kemudian tidak terkoneksi satu dengan lainnya. Untuk kemudian secara berkala dilakukan formasi atas dasar distribusi pekerjaan. Semua proses produksi tersebut, berdampak secara langsung dengan tingkat tanggung jawab paling rendah yang berimplikasi pada rendahnya tingkat standart upah yang harus diberikan. Dan pada saat yang bersamaan, tak adanya peluang untuk membangun kesadaran lebih baik dari individu, kelompok hingga organisasi atas proses eksploitasi yang dialami. Secara sosiologis, pola distribusi kerja yang menganut skema diatas berimplikasi pada peran masing-masing individu untuk saling mengawasi satu sama lainnya. Kecepatan hasil produksi akan ditentukan oleh kerja masing-masing individu yang berkorelasi langsung dengan upah. Pola ini memungkinkan keterbangunan relasi antar pekerja yang teramat mudah dikontrol, rentan untuk diadu domba dan pada akhirnya melemahkan kapasitas individu, kelompok maupun organisasi para pekerja perempuan.

Profil pekerja perempuan yang muda dan lajang menjadi dasar bagi strategi untuk memaksimalkan alokasi jam kerja sekaligus berimbas pada penekanan biaya produksi dalam bentuk upah yang murah. Konstruksi makna tentang perempuan memberi konstribusi bagi sistem ekonomi produksi yang menempatkan relasi pekerja perempuan hanyalah tenaga subtitusi bagi tenaga kerja laki-laki, sekaligus menempatkan struktur pekerjaan yang dilakukan hanyalah pelengkap bagi ekonomi keluarga. Peran pekerja perempuan direduksi dalam fungsi-fungsi domestik dan pada saat yang bersamaan fungsi ekonomis yang bisa dilakukan ditempatkan dalam posisi reproduksi semata. Konsepsi family wage (laki-laki adalah sumber penghasil pendapatan keluarga) dan continuity of work (kelangsungan kerja) yang permanen menjadi basis bagi rendahnya dawa tawar pekerja perempuan. Negosiasi kerja selalu akan berhadap-hadapan dengan kenyataan bawa pekerja perempuan akan mempunyai keterbatasan, baik oleh perkawinan, kehamilan, kelahiran hingga kewajiban merawat anak. Target kerja yang dipatok oleh dunia industri harus berhadap-hadapan dengan konstruksi tentang keluarga yang telah ternanam dalam masyarakat. Kebijakan-kebijakan negara (Hull, 2006) untuk mengakselerasi kapasitas perempuan tidak berkonstribusi signifikan dalam relasi para pekerja perempuan dan pemilik modal. Nasib para pekerja perempuan tak lekang berubah oleh perubahan rezim, termajinalisasi dalam kesadaran yang paling lemah dan tak ada pilihan kecuali bertahan dalam keseharian bisingnya deru mesin-mesin pabrik.

Potret perempuan kini jamak memenuhi ruas-ruas jalan di kota, berdesak-desakan dipagi yang cerah untuk berebut tidak terlambat, berduyun-duyun dengan wajah lelah di sore yang menggayut gelap, untuk kemudian mengisi malam dengan cengkrama bahagia sembari menunggu pagi untuk memulai kembali pekerjaan dan berharap dapat menghitung hari untuk gaji yang tak seberapa. Semuanya hadir sebagai bagian dari keseharian warga kota, sekaligus berdampingan dengan keinginan kota untuk membangun gedung-gedung tinggi yang menjulang, memajang produk-produk—para pekerja perempuan—di etalase dengan harga tak terjangkau, mengerek tinggi-tinggi simbol para pemodal dipapan-papan reklame, menghitung kemajuan dengan angka-angka tanpa kehadiran manusia sebagai subyek. Hari-hari ini, kota telah bergerak dan berubah, kota telah padat oleh pabrik, kota melambat dan merayap bersama para pekerja, dan kota semakin meminggirkan mereka yang tidak mampu bersaing, yaitu perempuan miskin.