Masa Lalu (Rumah) Masa Depan

aku dilahirkan disebuah pesta yang tak pernah selesai,
selalu saja ada yang datang dan pergi hingga hari ini 

Wiji Thukul

Rumah Membentuk Kita : Rumah adalah bingkai kekitaan. Didalam rumah, kita menjadi pemilik sekaligus pengikat atas batas-batas kepemilikan. Rumah menjadi asal muasal sekaligus simpul bagi bangunan nilai, bangunan kedirian, termasuk kesejarahan individu yang melebar dan membentuk kekerabatan yang luas. Dari rumahlah rangkaian panjang narasi dimulai untuk dikemudian diteruskan menjadi jejak-jejak biografis. Rahasia dirakit menjadi ikatan kepercayaan sekaligus memulakan hidup dan kehidupan.

Sejarah individu dirancang dalam alam mimpi orang-orang tua lewat nama-nama yang sematkan sebagai sebuah tolakan untuk capaian tentang masa depan maupun rekaman atas makna-makna subjektif. Cerita masa lalu diperdengarkan sebagai warisan untuk titian masa depan, peristiwa lalu yang terekam dalam foto dipajang sebagai pengingat, dan petuah-petuah kemulian didendangkan sambil mengiringi larutnya malam. Canda cerita dirangkaikan dalam keseharian bersama narasi-narasi monumental yang mengikuti siklus kalender untuk kemudian mengulanginya kembali pada tahun yang akan datang.

Didalam rumah pula semuanya dilakukan, secara rutin. Semuanya menjadi asal muasal dari sebuah aktivitas yang akan memberi dampak bagi aktivitas publik. Dari rumah, potret diri yang ideal dirangkai secara detil untuk dikenakan, mulai pasta gigi, sabun, sampho, minyak rambut, baju dalam, baju yang telah disterika, celana yang telah rapi, lengkap dengan gesper, sepatu beserta kaos kaki. Layaknya make-up maka utuhlah konsep diri kita kemudian. Sebuah kondisi yang seragam, yang terjadi disetiap balik pintu yang tertutup rapat, hampir pada saat yang bersamaan. Serentak dalam hitungan waktu-waktu yang diakumulasikan.

Yang berbeda, dari luar hanyalah pagar yang melintang pada setiap rumah. Pagar seakan-akan menjadi batas pembeda dari satu ruang ke ruang yang lain. Pagar disiapkan dalam kepentingan imaji pemasangnya, imaji tentang keterbukaan, persaudaraan, kepemilikan, kemampuan maupun keamanan. Pagar dihias dalam berbagai motif untuk menyampaikan pesan tentang seisi rumah kepada tetangga, orang yang melintas, pengemis yang mengantri maupun pengamen yang berdendang menunggu segelintir uang logam. Pesan tentang konsep diri kita agar bisa dipahami secara instan.

Pagar lantas urgent karena berada dilingkar paling luar dari rumah. Simpul paling krusial untuk membuat penegasan batas domestik dan privat agar menemukan penjelasannya lewat pagar yang dirangkai didepan rumah. Variasi bentuknya merupakan ekspresi perbedaan yang terdapat didalam rumah. Entah itu akan berkaitan dengan praktek tentang relasi ketetanggaan, ide kapital yang telah terakumulasikan, sekaligus menjadi batas penegas otoritasisasi ruang. Pagar mentransisikan sebuah proses interaksi yang ada, dimana seseorang boleh atau tidak melanjutkannya menjadi pola hubungan lebih lanjut. Rangkaian rumah dengan pagar adalah tempat untuk memulai sekaligus untuk mengakhiri. Bermulanya semua perbicangan kita akan berakhir dengan batasan pagar lalu rumah maupun sebaliknya.

Rumah dan pagar, tak luput pula dari perubahan yang diberbincangkan oleh para teoritisi. Perubahan sebagai keniscayaan tentang sifat dasar manusia untuk berubah. Rekaman perubahan sejatinya terentang teramat panjang namun kenyataan hari ini adalah bagian yang terpisah dari catatan tentang kesadaran manusia tentang akal budi, kebebasan, demokrasi, kapitalisme hingga teknologi. Realitas paling akhir dan kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah tarik ulur atas kondisi tersebut.

Kesemuanya bertransformasi, mencari bentuk untuk mengakselerasi keberadaan maupun kebutuhan manusia yang telah teradministrasi baik secara politik, ekonomi dan budaya. Serta menstimulasi proses mobilisasi manusia dalam jumlah yang banyak menuju titik-titik yang menyimpul semua kepentingan yang ada dalam bentuk urban. Terdistribusikannya semangat manusia modern menciptakan mekanisme pencarian kebutuhan hidup diluar sistem masa lalu dan menuntut ruang-ruang baru dari keberadaan zaman untuk menyediakan berbagai harapan tersebut. Modernitas seakan-akan diwakili oleh fenomena terbentuknya kota dan masyarakat kota, sebab kehadirannya menjadi magnet atas gerak mobilisasi dengan beragam kebutuhan : diranah ekonomi, kota menyediakan sarana pemenuhan kebutuhan hidup lewat beragam bentuk, diranah kota pula budaya menjadi bagian dari distribusi aset-aset manusia untuk pembentukkan identitas. Dan dikota pula kita menemukan konstruksi atas kehidupan yang menjanjikan tawaran-tawaran lebih baik dengan semua mekanisme pemenuhannya.

Kita Membentuk Rumah : Realitas yang dinamis juga mengakselerasi tumbuh kembangnya rumah-rumah kita. Progresivitas kota dan masyarakat kota menjadi potret tentang bagaimana rumah berubah lalu menjadi bagian tersendiri dari peradaban manusia. Rumah terbentuk dengan pola berduyun-duyun memadat disisi jalan yang semakin memanjang, berjejal-jejal dengan rumah yang dirombak secara paksa menjadi tempat-tempat pertukaran komoditi manusia modern. Pergerakan untuk perubahan tak lagi dimonopoli oleh manusia semata karena ruang-rumahpun mengalami hal sama sebab pergeseran yang sesungguhnya adalah pergeseran peta mental manusia modern.

Rumah baru dan pagar baru adalah perayaan tentang kegembiraan. Kegembiraan atas kontraprestasi nalar-nalar modern yang terbirokrastisasi. Rumah menjadi sepi dan rapuh oleh minimnya aktivitas keseharian manusia. Tak ada lagi cerita yang diperdengarkan dari yang dulu ke yang kini, karena senyap telah merambat semenjak jam di dinding menjadi penanda dan mempercepat derak kehidupan. Keramaian rumah hanya dipenuhi oleh pertukaran-pertukaran waktu dan uang untuk menjadi tanda adanya kehidupan dirumah-rumah yang semakin membesar dan meningkat. Bagian-bagian rumah hanyalah ruang tanpa makna karena tak ada lagi aktivitas didalamnya. Berbagai tanda kebanggaan dipajang untuk dinikmati dalam kesendiriannya dan semuanya semakin tenggelam oleh menebal, meninggi dan menguatnya pagar-pagar rumah.

Lalu, nalar kehidupan masyarakat kota seakan-akan mutlak rasional. Budaya yang terteknologisasi tak memberi ruang bagi emosi dan kesadaran tentang makna. Irasionalitas hadir dalam bentuk lain dan terasa masuk akal karena menjadi komoditi baru dengan jargon-jargon yang diedukasikan secara massif. Tuntutan agar semuanya rasional otomatis mengabaikan kemungkinan-kemungkinan lain dan kondisi ini menjadi teror yang terus menerus diingatkan oleh kepentingan akumulatif dan kompetisi yang seakan-akan tiada akhir. Dan semuanya kini hadir dirumah kita.