Membaca dan Membukukan Kota

Catatan Buletin Pawon Edisi Aku dan Buku

Tidak ada yang spesial dari buku. Itu yang tergambarkan dari pengalaman ketika belajar di sekolah dasar, menengah dan bahkan mungkin menegah atas. Ruang yang tertera tanda perpustakaan merupakan ruang yang tak terjamah oleh banyak teman-teman. Tak ada yang menarik untuk sekedar jadi alasan masuk, tak ada kebutuhan bahkan untuk sekadar mampir karena memang tak ada informasi apapun tentang perpustakaan yang gelap dan tak terjamah. Anak-anak muda, dengan seragam sekolah sepertinya jauh merasa lebih tertarik untuk bermain bola, duduk bareng-bareng dan berlama, bercerita banyak tanpa ujung atau menghabiskan waktu dengan begadang untuk kemudian menikmati waktu-waktu belajar dikelas dengan rasa kantuk yang amat sangat. Tak ada alasan untuk belajar, tak tahu apa yang harus dibaca dan tak ada keinginan untuk belajar apalagi membaca.

Kalaupun ada kehendak untuk membaca maka itu hanyalah karena ada stensilan yang diperoleh dengan diam-diam dan membacanya harus hati-hati atau karena beberapa pilihan jurus yang diikuti oleh ilustrasi gerakan yang kemudian ditiru sedemikian rupa oleh sebab terdistribusikannya poster-poster aneka ragam bruce lee. Bacaan lain yang menarik dan boleh ada dimeja cuman kumpulan doa-doa mujarobat yang kadang mesti hadir dan dijadikan panduan kala menghadapi persoalan atau jelang ujian. Tatapan atas buku selain pelajaran hanya ada pada malam hari di alun-alun kota. Kumpulan buku-buku bekas bertumpuk bersama poster dan sticker yang dipajang sebagai tontonan. Jarang yang beli namun banyak yang lihat-lihat sekedarnya.

Entah untuk alasan apa, sebuah buku kemudian bersinggungan. Buku itu berjudul, Cara Berpikir Yang Baik tulisan Bambang Marhiyanto, 1987. Buku ala kadarnya, yang berserak bersama buku-buku panduan sholat, kumpulan doa-doa maupun kumpulan soal-soal ujian, yang digelar dipinggir jalan dikawasan simpang lima setiap malam minggu. Tak kebutuhan apapun untuk memulai membacanya kecuali hanya untuk sekedar iseng dan membuang waktu : keluar dari rasa jenuh melihat kumpulan buku-buku pelajaran. Buku Bambang Marhiyanto merupakan buku sederhana, dengan cover warna merah full dan tulisan judul berwarna hitam. Sampai sekarang buku tersebut masih tersimpan, dengan cover dalam tergores catatan : yang pertama dan yang mengawali. Membacanya hanya memberitahu kepada kita tentang bagaimana caranya berpikir dan memberi panduan untuk cara berpikir kita agar runtut dengan nalar yang baik. Tidak tahu apa yang terjadi kemudian, ingatan yang ada hanya pernah membacanya sampai selesai sambil mendengar lagu-lagu populer diradio yang diiringi orang-orang berkirim pesan lewat lagu selepas membeli kupon.

Tidak ada dampak, tidak ada kesan, tidak ada ingatan tentang buku itu kecuali kesadaran awal tentang berpikir yang baik sebagai sebuah persoalan baru yang kini mengisi otak kepala dan menumpuknya bersama soal-soal yang akan diujikan maupun prediksi atas hasil akhir sepak bola yang mulai populer di televisi. Kenapa harus berpikir yang baik dan bagaimana cara berpikir yang baik sepertinya menjadi jejak terdalam atas buku tersebut. Kelak dikemudian hari menjadi energi bagi keinginan untuk memulai membaca. Kesadaran untuk membaca lalu hadir secara natural bersamaan dengan keinginan untuk mempunyai kesempatan melanjutkan studi-kuliah.

Keinginan tersebut menjadi agenda yang tak terencanakan sebelumnya. Membaca buku-buku pelajaran serta merta menjadi cara yang paling menyenangkan untuk menghabiskan waktu, setelah tetap bermain sebagaimana mestinya. Teman sekamar dipondok menjadi tauladan yang paling konkrit untuk menjelasakan kenapa membaca itu penting. Sekalipun oleh alasan yang berbeda namun membaca menjadi tuntutan pribadi yang senantiasa diingatkan oleh goresan pesan-pesan mulia yang tertempel dialmari pondokan. Buku-buku pelajaran menjadi bahan bacaan yang segera menarik minat karena penjelasan-penjelasan tentang ekonomi, sejarah, tatanegara, antropologi, dan sosiologi. Membaca tiba-tiba berubah menjadi aktivitas yang menyenangkan bahkan untuk sekedar bolos sekolah sekalipun membaca menjadi aktivitas yang tetap dilakukan.  Apakah ini semua disebabkan oleh bacaan atas buku yang tertera diatas ? Tentu tidak sepenuhnya. Namun menempatkannya diantara buku-buku pelajaran seperti memberi alasan kenapa buku tersebut terasa penting kala itu, setidaknya masih diingat dalam konteks kekinian.

Ada yang berubah tapi ada pula yang sama. Membaca menjadi penanda yang membedakan diantara aktivitas yang lain. Kesenangan membaca mungkin bukan sepenuhnya berorientasi pada kebutuhan akan pengetahuan namun lebih kepada kebutuhan untuk menghapal semua materi yang ada dibuku-buku pelajaran. Membuat catatan kecil adalah cara yang diajarkan oleh teman untuk tetap bisa belajar diberagam tempat tanpa harus membawa buku. Membaca dan mencatat nya hadir dengan rasa keikhlasan yang amat sangat oleh karena keinginan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Semuanya lalu terasa menjadi biasa.

Bacaan-bacaan buku pelajaran tak dinyana menjadi garis yang kelak ditorehkan oleh perjalanan waktu. Beragam bacaan pada mata pelajaran terasa hambar karena prosesi yang menuntut hapalan tanpa alasan untuk menjelaskannya. Hingga seorang guru, yang oleh teman-teman selalu diolok-olok secara diam-diam, menjelaskan apa-apa yang ada dibuku pelajaran dengan cara sederhana. Pelajaran, bacaan dan penjelasan pada jam-jam tersebut tak terasa berubah menjadi moment yang ditunggu-tunggu. Paparan tentang kehidupan masyarakat, konflik, integrasi, etika, moral dan seterusnya mengalir bersamaan dengan jelang habisnya masa studi dikelas-kelas menengah atas. Yang tersisa diakhir hanyalah ketertarikan pada mata pelajaran sosiologi.

Tak ada kemampuan lebih untuk menjelaskannya kecuali suka atas cara bagaimana pelajaran sosiologi disampaikan dikelas. Dan itulah awal dari fragmen berikutnya. Fragmen dimana kebutuhan untuk membaca hadir dan menjadi tuntutan. Bukan untuk menghapalkannya, bukan untuk menjawab soal dan bukan untuk membuang waktu kosong di bangku kuliah. Hasrat untuk memahaminya lalu menjadi pertanyaan awal kepada seorang dosen : kalo meminati sosiologi maka buku apa yang sebaiknya dibaca ? Jawaban cepat, merujuk kepada sebuah buku yang dapat ditemukan di perpustakaan. Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, David Berry, 1981. Tak berapa lama buku tersebut dapat ditemukan disebuah toko buku yang sederhana, Budi Laksana.

Buku David Berry segera jadi jejak awal untuk memulai langkah-langkah panjang sesudahnya. Dengan bermodalkan semangat membaca, setiap perjalanan seakan-akan adalah upaya untuk mencari buku sekedarnya agar dapat dibaca. Percikan rasa ingin tahu yang dimulai oleh buku tersebut menyeret perjalanan kuliah untuk sekedar menghabiskan waktu diperpustakaan. Bukan untuk belajar, bukan untuk mengerjakan tugas tapi untuk membaca karena tak ada alasan lain seperti mengerjakan minat yang lain layaknya menonton, pacaran maupun mentraktir teman. Karena memang tak ada anggaran untuk itu semua. Seorang teman, menyebut membaca untuk menghilangkan rasa lapar. Oleh sebab keterbatasan maka membaca hanya menyisakan perpustakaan sebagai ruang-ruang yang longgar, karena ada kipas angin, kursi, meja dan koran/majalah. Berlama-lama diperpustakaan hanyalah cara untuk mengkompensasi diri karena tidak punya hajat untuk ke mall, bermain komputer atau bermain ke kost lawan jenis.

Perpustakaan -yang dulu tak ada keinginan untuk memasukinya- sekarang menjadi tempat yang familiar. Ragam bacaan kemudian menjadi cara memahami sosiologi. Memahami sosiologi lalu menjadi alasan untuk membuka buku-buku sejarah, politik, filsafat hingga sastra. Semuanya ada diperpustakaan. Kecuali perpustakaan, simpul-simpul kota lalu menjadi tempat untuk didatangi sekedar jalan-jalan ataupun untuk memenuhi keinginan membaca yang tak terasa telah menjadi kebiasaan. Gelaran buku dan majalah bekas yang terdapat di Gladak menjadi tempat yang sering dikunjungi hingga kini. Dengan modal terbatas anda bisa mendapat buku-buku bekas yang baik, kalo beruntung. Kalopun tidak anda bisa punya alasan untuk menghabiskan waktu luang saja.

Persinggungan berikutnya adalah dengan Ras Siregar, Harmoni, Pustaka Kita 1987. Yang memberikan gambaran kehidupan dan kisah keseharian keluarga yang menggambil setting kota Jakarta. Buku kumpulan cerpen tahun 1964, yang pernah menjadi bagian dari konflik kebudayaan terasa menyengat karena bersinggungan secara tidak langsung dengan profil kebanyakan orang. Kesedihan, kekurangan, keterbatasan, dan tolong menolong melatar belakangi  keterlibatan kita atas semua narasi yang digambarkan dengan amat sederhana oleh penulis. Bacaan ini mengawali interaksi yang lebih luas dengan buku-buku lain dari beragam jenis karya. Lagi-lagi, pilihan untuk memenuhi hasrat untuk berinteraksi hanyalah perpustakaan. Kesempatan membeli buku sangat terbatas oleh beragam alasan. Sampai suatu ketika keberuntungan atas nama beasiswa memberi kesempatan untuk memulai membeli buku dalam jumlah terbatas dan pilihan yang paling mungkin adalah buku bekas. Kost sebagai tempat tinggal secara berlahan kemudian terisi beberapa tumpuk buku untuk sekedar isian ruang agar layak seperti seorang pelajar.

Tak ada yang terasa spesial setelah itu karena semua bacaan terasa penting, semua bahan menarik untuk dibaca maupun sekedar dikoleksi bersama tumpukan buku yang lain. Pembelajaran dikampus sebenarya tidak menuntut apapun kecuali hadir untuk absen maka hasrat untuk membaca, membeli dan mengkoleksi buku sama sekali jauh dari atensi tentang kelas/dosen. Membaca hanya minat semata yang tak linier dengan kuliah, tak lagi relevan dengan tugas apalagi persiapan untuk ujian semester. Membaca cuma jadi cara untuk mengisi waktu yang sangat luang, diluar agenda lain sperti bermain bola, menonton bola ditelevisi, atau gobrol ngalor ngidul dikost-kostan maupun bareng tetangga dikampung. Disisi lain membaca menjadi tantangan tertentu ketika berkumpul dengan beberapa teman untuk mendiskusikan beberapa tema, dan bacaan menjadi penentu atas apa-apa yang kita bicarakan. Situasi terakhir menjadi alasan paling menentukan dan mempola relatif lama sebagai sebuah energi untuk tetap membaca, mendiskusikan dan pada beberapa kesempatan menulisnya.

Di tengah-tengah tahun belajar, pada suatu kesempatan mampir di Gramedia Semarang sebuah buku menyita perhatian. Sejarah Kauman, Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah yang ditulis Ahmad Adaby Darban, Tarawang 2000. Buku sejarah yang ditulis berbasis riset tugas akhir tahun 1980an menceritakan sejarah identitas kampung Kauman Yogyakarta sekaligus menjelaskan latar gerakan Muhammadiyah peroide awal. Tanpa banyak pertimbangan bukupun terbeli dan dibagian cover depan tercatat : sebuah tantangan, akan dijawab pula dengan tantangan yang menghasilkan sesuatu. Tak ada alasan khusus untuk menjadikan buku tersebut secara spesial kecuali keinginan untuk membelinya dan berharap kelak dapat berguna. Sampai pada suatu moment, kesempatan untuk mengajukan rencana menulis tugas akhir tiba. Buku Adaby Darban menjadi inspirasi pertama yang langsung diingat setidaknya karena intensitas jalan-jalan di sekitar alun-alun kota, yang letaknya tak jauh dari Kauman Surakarta. Membaca buku tersebut berulang-ulang lalu menjadi agenda yang mendesak untuk menemukan celah dan orientasi agar bisa ditindak lanjuti dengan rencana penelitian sebagai tugas akhir. Implikasi sesudahnya adalah mengkoleksi dan membaca bahan-bahan terakit dengan isu kota dan perubahan sosial.

Minat untuk meneliti dan menuliskan kampung Kauman semakin mendalam oleh atensi kuliah yang berkembang dikelas sosiologi perkotaan. Minat untuk memahami isu kota terasa mudah karena rasa keterlibatan dalam ruang-ruang kota dan meminati untuk menuliskan Kauman sebagai kampung tradisional yang mengalami perubahan makin kuat ketika menemukan rujukan yang lain yaitu tulisan Lea Jellineck, 1995 : Seperti Roda yang Berputar, Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta. Buku hasil disertasi Jellineck di kampung Kebun Kacang, yang relatif lama telah dicetak lalu dijual pada sesi bursa buku-buku lama dan murah di Graha Wisata. Percaya tidak percaya, dua buku tersebut menjadi memorable karena kesempatan untuk mempublikasikan hasil penelitian tugas akhir pada periode 2000-2002 akhirnya datang. Bahan tersebut dicetak menjadi buku perdana atas tajuk Pudarnya Kauman, Studi Perubahan Sosial Masyarakat Islam Tradisional di Surakarta, Elmatera 2011. Dan kumpulan tulisan tentang Kampung Perkotaan, Kajian Historis-Antropologis atas Kesenjangan Sosial dan Ruang Kota, ANRC-Unair-Elmatera 2011. Dimana kesempatan untuk menulis bareng Lea Jellineck hadir.

Tak terasa, bacaan dan secuil tumpukan buku yang ada kini membentuk sebuah identitas. Semua jejak yang ada berlaku menjadi sebuah minat secara akademik. Kajian kota dan perubahan sosial tak sadar menjadi label yang disematkan sebagai penanda seseorang untuk mendalami sebuah disiplin kajian. Upaya untuk konsisten memungkinkan bagi upaya yang lain seperti mengkoleksi semua bahan berkaitan dengan isu-isu kota dan perubahan sosial, sekalipun itu semua tak berarti menutup mata untuk sekedar membaca bahan-bahan yang lain. Membaca kini bukan lagi sekedar membuang waktu luang atau minat untuk didiskusikan dengan teman namun membaca kini menjadi kewajiban karena kesempatan untuk berdiri didepan kelas hadir sebagai sebuah pilihan hidup. Sekalipun membaca kini terasa berat karena alasan-alasan kekeluargaan tapi membaca tetap harus dilakukan karena dari kesempatan berinteraksi dengan bukulah energi untuk hidup dan bekerja. Membaca mesti dilakukan bukan karena apa-apa tapi karena kita satu-satunya mahluk yang merekam pengetahuan dengan bacaan. Sebab, membaca buku seperti melihat kota, memahami kota layaknya menyelami buku dan merawat kota bisa juga dilakukan dengan menulis buku ..