Teknologi untuk Demokrasi

catatan untuk fisip uns blogfest 20.11 :

Persoalan yang menimpa Prita Mulyasari, menyeruak kembali selepas putusan terbaru kasasi Mahkamah Agung. Untuk kemudian kita kembali berdebat tentang kebebasan berpendapat, teknologi, hingga arti kekinian demokrasi. Fakta-fakta tersebut menjadi realitas tentang praktek berdemokrasi yang sedang mengalami tantangan di era teknologi. Dalam kasus yang lebih luas, kenyataan yang hampir sama terjadi atas Julian Asengge maupun Muhammed Bouazizi, yang mengharu biru pemberitaan di media. Dengan beragam spektrum, ketiganya hadir oleh beberapa sebab : Prita karena menuliskan surat protesnya di blog yang kemudian menggerakan jejaring dunia maya dalam sebuah gerakan koin untuk prita, Julian karena keberaniannya mengobrak-abrik sistem jaringan informasi diplomatik untuk kemudian dibagikan ke publik dalam sebuah slogan helps wikileaks keep government open yang menggerakkan semangat jutaan volunteer di Eropa untuk mendukung pembebasan dirinya, dan yang terakhir Bouazizi seorang pedagang yang melakukan protes dengan membakar diri untuk kemudian memicu jasmine revolution yang memicu penumbangan rezim yang berkuasa di Timur Tengah. Prita, Julian, Bouazizi ada dalam belahan dunia yang berbeda, lahir dari proses yang beragam dan mempunyai skala  yang tidak sama namun ketiganya terikat dalam sebuah simpul yang sama, simpul teknologi media informasi. Dimana pesan ketiganya menuntut sebuah keadilan dalam praktek politik modern negara-negara modern.

Kompleksitas praktek demokrasi yang direalisasikan mengalami fluktuasi oleh sebab tarik ulur kepentingan untuk melanggengkan status quo disatu sisi dan konsolidasi yang terus menerus oleh mereka yang percaya bahwa demokrasi adalah mekanisme paling ideal untuk mensirkulasikan kekuasaan, disisi yang lain [Samuel Hungtinton, 1992]. Dan demokrasi secara global serta merta menganut keterwakilan lalu menjadi mekanisasi sebagai jalan tengah untuk keluar dari persoalan rumit relasi antara otoritarianisme, oligarki maupun anarkhisme. Indonesia menjadi salah satu diantaranya. Dimana satu dekade terakhir demokrasi mengalami akselerasi yang luar biasa, desentralisasi digaungkan untuk menjadi patok pembeda dengan sejarah politik yang telah bertahan hampir tiga dekade sebelumnya. Akselerasi hadir dalam ragam infrastruktur baru yang terbangun setelahnya, sekaligus mengawali diselenggarakannya pemilihan umum yang lebih terbuka dan kesempatan pada kita semua untuk menentukan pemimpin kita, baik pada skala nasional maupun lokal.

Momentum percepatan atas praktek demokrasi yang ada sedianya linear dengan keterpenuhan harapan rakyat atas tujuan akhir ketika memilih mensegerakan perubahan. Namun kenyataanya tidak menunjukkan kondisi tersebut, kasus yang terurai diatas adalah bentuk dari kegagalan kita mempraktekkan demokrasi sebagai sebuah nilai. Infrastruktur demokrasi yang seharusnya menjalankan peran dan fungsinya mengalami stagnasi oleh sebab saling tersanderanya kepentingan yang ada. Publik yang selama ini menjadi jargon, entah mengapa tidak tahu menahu dan tidak mau tahu atas semua persoalan yang dipergunjingkan sebab jarak yang semakin jauh antara realita dan harapan. Lahir banyak kejenuhan, apatisme maupun kekerasan jalanan sebagai bentuk lain dari kegagalan mekanisme kepentingan rakyat yang telah diwakilkan

Akselerasi Demokrasi

Hadirnya teknologi-informasi yang pada awalnya bernilai ekonomis tiba-tiba menjadi bentuk yang berbeda dari awal kelahirannya. Teknologi serta merta bertransformasi dan dimaknai menjadi sebuah kanal baru atas nama demokrasi oleh kelas menengah, yang seakan-akan tidak bisa lepas dari kebutuhan keseharian mereka untuk mengunakan teknologi. Demokrasi mengalami pengadaptasian dengan cara-cara lebih sederhana, lewat saling berkomentar di jejaring sosial, berbagi pandangan lewat mikrobloging maupun bertukar pendapat lewat teknologi media maya yang semakin individualistik [Manuel Castell, 2004]. Praktek demokrasi menjadi lebih ringan oleh pijatan tombol-tombol yang disediakan oleh teknologi massa dan tak lagi mutlak harus bicara tentang beban berat negara.

Kondisi ini membenarkan rumusan demokrasi sebagai prasyarat bagi tumbuh kembangnya pasar dimana industriallisasi teknologi tumpang tindih dengan kepentingan demokrasi. Tak terasa teknologi terbangun menjadi paradoks yang menunjang praktek demokrasi dalam level-level yang berbeda. Pada ranah elit, teknologi dikembangkan menjadi alat untuk mengukur akseptabilitas, mengukur kemungkinan kalah dan menang, hingga menjadi media utama untuk mengemas dan membangun citra seseorang. Namun pada ranah yang lain, teknologi adalah media pembelajaran demokrasi secara langsung. Tontonan praktek-praktek politik yang sebelumnya tak terjangkau, lewat teknologi media kini mendekat dan melahirkan kesadaran maupun kemauan untuk terlibat lebih jauh. Terbukanya kran-kran ekspresi lewat bangunan media interaktif telah menggejala bahkan beberapa diantaranya menjadikan teknologi sebagai alat untuk menggerakkan sesama demi mewujudkan kepentingan sekaligus menghindari membekunya harapan rakyat atas negerinya.

Prita Mulyasari, Julian Asengge hingga Muhammed Bouazizi hanyalah sedikit wakil keterlibatan untuk mewujudkan harapan tentang praktek-praktek bernegara yang seharusnya. Kehadiran setiap individu yang dulu diabaikan kini dapat dirasakan bersama teknologi dunia maya yang hadir dan merambah ruang-ruang terkecil dari semua aktivitas individu untuk terkoneksi didalamnya. Konten publik menjadi tema paling mudah untuk membangun keterlibatan lebih luas dari semua jejaring sosialita, diluar pesan-pesan individual yang memang menjadi materi awal dan utama dari eksistensi teknologi tersebut. Tumpang tindih antara keduanya tanpa terasa membesar oleh sebab kesamaan perasaan yang dirasakan akibat miskelola Negara dan menjadi embrio bagi lahirnya civil society yang makin kritis, seperti yang diurai Neera Chandoke [1995]. Fragmen-fragmen politik yang disebarluaskan oleh media massa, diserap searah oleh rakyat dan dimaknai kembali lewat kicauan, pikiran maupun tulisan yang termediasi oleh teknologi. Sedikit pesan untuk kepedulian serta merta membesar karena pola tehnik teknologi yang memang mengandalkan jejaring lewat koneksitas dan promosi yang tak terbatas. Pada satu titik, capaian akhir dari pesan tersebut terartikulasikan menjadi sebuah gerakan sosial baru dalam beragam bentuk dan gerakan oposisi Malaysia yang mengambil tagline Bersih 2.0 menjadi contoh paling mutakhir.

Makna media sebagai pilar demokrasi semakin dikuatkan oleh keterlibatan yang lebih luas untuk menyebar luaskan berita, pesan dan harapan yang tak lagi mengadopsi logika searah. Mengawasi dan mengevaluasi kerja-kerja negara tak lagi sepihak dimonopoli oleh para jurnalis. Teknologi komunikasi massa yang mengadopsi fitur-fitur jejaring sosial tanpa sadar menjadi tehnik monitoring paling efektif dari rakyat atas harapan terhadap bangsanya. Tanpa tersekat-sekat oleh standartisasi kelas-kelas sosial ekonomi, identitas maupun budaya. Teknologi memberi ruang bagi kita untuk terlibat dan peduli terhadap apa yang tuliskan Prita, apa yang dilakukan oleh Julian, dan apa yang terjadi pada Bouazizi, kesemuanya melintas tak mengenal belahan ruang dan waktu. Jalinan solidaritas baru terikat oleh simpul-simpul teknologi. Simpul untuk mengawal demokrasi pada rel yang seharusnya, yaitu demokrasi sebagai jalan untuk memperjuangkan keadilan keadilan, kesejahteraan dan kehidupan lebih baik. Teknologi menjadi cara baru meluaskan demokrasi sekaligus membangun kewargaan lewat partisipasi sehingga makna partisipasi untuk demokrasi tak lagi tereduksi hanya dalam rentang waktu lima tahunan semata. Namun terurai dalam tenggat keseharian kita untuk sekedar merefleksikan nasib ditengah-tengah ketidakpedulian negara terhadap warganya. Untuk itu, haruskah semuanya kemudian dimaknai subversif ?