media [membunuh] demokrasi

Akhmad Ramdhon @ Solopos, 12/11/2011

Hiruk pikuk diskusi tentang demokrasi, kian hari kian dramatis oleh beragam tabir persoalan yang terurai dan dipaparkan oleh media kepada kita sehari-hari. Ada berbagai pihak yang menempatkan diri pada posisi yang senantiasa bertahan atas beragam persoalan yang ada, untuk kemudian berargumen tentang keberhasilan pemerintahan sekaligus merujuk posisi ini pada eksekutif. Dan disisi yang lain, dengan jumlah yang jauh lebih banyak, mengungkapkan beragam kegagalan tentang proses penyelenggaraan proses bernegara lalu menyebutkan posisi tersebut pada batas yang tidak tegas namun mereka menyebutnya oposisi. Drama keduanya hadir lewat beragam kasus korupsi, politik anggaran hingga reshuflle kabinet dengan beragam latar yang menyertainya. Semuanya hadir ditengah-tengah kita lewat media-massa untuk kemudian melibatkan kita dalam beragam bentuk ekspresi dan pada titik inilah kita mengenalnya sebagai ruang publik politik dimana media hadir sebagai penyangganya.

Sebagai sebuah pilar, ruang publik kemudian termekanisasi lewat keberadaan media. Media lalu bekerja melakukan pertukaran informasi dalam semua relasi politik, aktivitas-komunikasi politik eksekutif, legislatif dan yudikatif, kemudian didisseminasikan keluar dari kepengapan batas-batas ruang politik formal untuk kemudian menjadi bagian dari publik yang lalu mendiskursuskannya [Jurgen Habermas, 1984]. Potret tersebut menjelaskan kenyataan sekaligus memberi bukti atas kegagalan terciptanya ruang publik politis yang mandiri. Otoritarianisme eksekutif terlanggengkan oleh ketidakberdayaan legislatif dan yudikatif, yang mana eksistensi keduanya tidak lebih dari lembaga-lembaga pembenaran. Konflik dan saling sandera kepentingan menjadi mekanisme negosiasi antara yudikatif dan legislatif dalam memproduksi berbagai kebijakan yang ada. Semuanya hadir dan telanjang dimata publik, lalu menciptakan krisis legitimasi yang menyeruak hampir dalam semua turunan lembaga-lembaga negara oleh publik.

Ruang-ruang politik bagi publik hanya menyisakan pilar media sebagai bentuk lain dari ekpresi atas demokrasi. Media harus berusaha untuk tetap berada dalam kebebasannya sebab kehadiran publik untuk melakukan pengawasan atau penuntutan atas kebutuhan politiknya hanya dapat bersandar pada media, dimana beragam komunikasi antar individu disuarakan dan diartikulasikan. Maka media yang merepresentasikan ruang politik bagi publik kemudian menjadi variabel yang penting dalam menjalankan roda-roda demokrasi. Namun kondisi tersebut mesti diuji oleh nalar kekebasan yang lahir dari rahim demokrasi yaitu tantangan atas hadirnya modal sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia media-massa sebagai industri yang modern.

Keterancaman

Diantara semua narasi tentang polemik demokrasi yang hadir di media, mengendap pula keterancaman baru yaitu media yang kini harus berhadap-hadapan langsung dengan modal sebagai basis dasar dari dinamika kapitalisme global. Tren akumulasi kapital oleh para pelaku industri media besar yang kini merasakan adanya kebutuhan untuk masuk dan menjadi bagian  dari sistem informasi yang selama ini kian mapan. Kebutuhan akan keterikatan pada media minimal didasarkan pada dua aras kebutuhan, yang pertama adalah kebutuhan untuk menempatkan media menjadi bagian penting dari instrumentasi industri sebagai mekanisme campaign dan mereproduksi berbagai kerangka nilai tentang konsumerisme. Sekaligus mengakselerasikan masyarakat dalam sebuah tatanan baru yaitu mode of consumption, seluas-luasnya, seintensitas mungkin, dan cuman media yang mempunyai kemampuan tersebut. Kebutuhan yang kedua, mengembangkan media (secara an sich) menjadi sebuah sistem industri baru, yang mengelola berbagai kebutuhan baru pada konstruksi masyarakat kontemporer. Dimana terjadi inovasi atas beragam kemampuan individu yang kemudian terkomodifikasi dan menjadi pemuas hasrat individu yang lain, dengan nama entertainment.

Dua fakta tersebut, cukup memadai untuk menjelaskan regulasi kepemilikan modal atas media. Yang mana, situasi tersebut mempertemukan antara nalar-kepentingan ekonomi dengan nalar-kepentingan politik dan pada akhirnya mematrerialkan hasrat berkuasa dan menguasai pihak lain. Sebagai bukti, gelombang merger dan akuisisi pada media-media membentang dari Amerika, Eropa, Asia bahkan Indonesia. Sebuah kondisi yang mempunyai kecendrungan yang sama dengan paparan fakta tersebut bisa dilihat pada meningkatnya jumlah laba yang diperoleh Shin Coo perusahaan komunikasi yang dimiliki oleh Thaksin Sinawatra, selepas tiga tahun menjadi perdana menteri. Atau Berlusconi yang memiliki Mediaset Group dan menguasai sembilan puluh persen pasar dinegaranya, dengan pemasukan iklan sembilan puluh enam koma delapan dari seluruh iklan yang tersedia  [Ignatius Haryanto, 2004]

Kepemilikan media yang terpusat pada beberapa pemilik modal, pada akhirnya memberi dampak yang luar biasa luas bagi kebutuhan dasar individu dalam ruang-ruang publik dan terutama untuk kebutuhan publik. Kepemilikan terhadap ruang publik mengalami penyempitan (privatisasi) dalam mana seharusnya tidak terjadi. Media yang epistemologinya adalah representasi atas ruang keterwakilan individu secara kolektif kemudian kehilangan axiologinya karena masalah kepemilikan. Sehingga proses demokratisasi kemudian berjalan timpang karena tampilnya mekanisasi yang hanya menghadirkan kepentingan pemodal dan mengabaikan kepentingan publik. Dampak tersebut makin massif, takkala skema Anthony Giddens [1994] tentang relasi negara, industri dan modal, bersinggungan pada satu kepentingan yaitu kekuasaan. Maka kepentingan individu makin tereduksi dan makna kepentingan publik serta merta tanggal dengan sendirinya. Otomatis gerak laju demokrasi berjalan ditempat.

Pergeseran orientasi media lalu termanifestasikan dalam kebutuhan para kaum pemilik modal untuk mewujudkan semua kepentingannya sekalipun menjadi otoritarianistik hingga kepentingan yang lebih dangkal yaitu mengkebiri kemampuan media dalam mengembangkan nalar publik dengan tetap berbasiskan pada kebutuhan untuk mengakumulasikan modal. Media tak lagi mampu menopang demokrasi karena transformasi kekuatan modal yang membuatnya rapuh dan tak lagi menjadi energi bagi kesadaran publik untuk berpolitik. Dan keyakinan kita untuk menyandarkan pilar demokrasi pada media-massa kini akan menghadapi persoalan serius. Ketika hari-hari ini kita melihat para pemilik media yang telah mengakumulasikan kemampuan modalnya, beramai-ramai mendeklarasikan kepentingan politik mereka untuk sebuah fragmen ditahun 2014. Maka, akan seperti apa masa depan demokrasi kita tanpa kehadiran media yang sesungguhnya ?